Kelas : 1 KA 35
Npm : 15111365
Dosen : Retmiarti
Manusia dan Penderitaan
Manusia dan Penderitaan
Sebelum nya kita harus tau dulu apa
sih pengertian dari penderitaan itu sendiri? Penderitaan adalah menanggung atau
menjalani sesuatu yang sangat tidak menyenangkan yang dapat di rasakan oleh
manusia. Setiap manusia pasti pernah mengalami penderitaan baik secara fisik
maupun batin. Penderitaan juga termasuk realitas dunia dan manusia. Intensitas
penderitaan manusia bertingkat-tingkat, ada yang berat dan ada juga yang
ringan. Namun, peranan individu juga menentukan berat tidaknya suatu intensitas
penderitaan. Suatu peristiwa yang di anggap penderitaan oleh seseorang belum
tentu merupakan suatu penderitaan bagi orang lain. Dapat pula suatu penderitaan
merupakan energi untuk bangkit bagi seseorang, atau sebagai langkah awal untuk
mencapai kenikmatan dan kebahagian. Memang harus diakui, di antara kita dan
dalam masyarakat masih terdapat banyak orang yang sungguh-sungguh berkehendak
baik, yaitu manusia yang merasa prihatin atas aneka tindakan kejam yang
ditujukan kepada sesama manusia yang tidak saja prihatin, melainkan berperan
serta mengurangi penderitaan sesamanya, bahkan juga berusaha untuk mencegah
penderitaan atau paling tidak menguranginya, serta manusia yang berusaha keras
tanpa pamrih untuk melindungi, memelihara dan mengembangkan lingkungan alam
ciptaan secara berkelanjutan. Ada keinginan alamiah manusia untuk menghindari
penderitaan. Tetapi justru penderitaan itu merupakan bagian yang terkandung di
dalam kemanusiaannya.
Akibat penderitaan yang bermacam-macam. Ada yang mendapat hikmah besar dari
suatu penderitaan, ada pula yang menyebabkan kegelapan dalam hidupnya. Oleh
karena itu, penderitaan belum tentu tidak bermanfaat. Penderitaan juga dapat
‘menular’ dari seseorang kepada orang lain, apalagi kalau yang ditulari itu
masih sanak saudara.
Mengenai penderitaan yang dapat memberikan hikmah, contoh yang gamblang dapat
dapat dicatat disini adalah tokoh-tokoh filsafat eksistensialisme.
Misalnya Kierkegaard (1813-1855), seorang filsuf Denmark, sebelum menjadi
seorang filsuf besar, masa kecilnya penuh penderitaan. Penderitaan yang
menimpanya, selain melankoli karena ayahnya yang pernah mengutuk Tuhan dan
berbuat dosa melakukan hubungan badan sebelum menikah dengan ibunya, juga
kematian delapan orang anggota keluarganya, termaksud ibunya, selama dua tahun
berturut-turut. Peristiwa ini menimbulkan penderitaan yang mendalam bagi Soren
Kierkegaard, dan ia menafsirkan peristiwa ini sebagai kutukan Tuhan akibat
perbuatan ayahnya. Keadaan demikian, sebelum Kierkegaard muncul sebagai filsuf,
menyebabkan dia mencari jalan membebaskan diri (kompensasi) dari cengkraman
derita dengan jalan mabuk-mabukan. Karena derita yang tak kunjung padam,
Kierkegaard mencoba mencari “hubungan” dengan Tuhannya, bersamaan dengan
keterbukaan hati ayahnya dari melankoli. Akhirnya ia menemukan dirinya sebagai
seorang filsuf eksistensial yang besar.
Penderitaan
dan Kenikmatan
Tujuan
manusia yang paling populer adalah kenikmatan, sedangkan penderitaan adalah
sesuatu yang selalu dihindari oleh manusia. Oleh karena itu, penderitaan harus
dibedakan dengan kenikmatan, dan penderitaan itu sendiri sifatnya ada yang lama
dan ada yang sementara. Hal ini berhubungan dengan penyebabnya. Macam-macam
penderitaan menurut penyebabnya, antara lain: penderitaan karena alasan fisik,
seperti bencana alam, penyakit dan kematian; penderitaan karena alasan moral,
seperti kekecewaan dalam hidup, matinya seorang sahabat, kebencian orang lain,
dan seterusnya.Semua ini menyangkut kehidupan duniawi dan tidak mungkin disingkirkan
dari dunia dan dari kehidupan manusia.
Penderitaan dan kenikmatan muncul karena alasan “saya suka
itu” atau “sesuatu itu menyakitkan”. Kenikmatan dirasakan apabila yang
dirasakan sudah didapat, dan penderitaan dirasakan apabila sesuatu yang menyakitkan
menimpa dirinya. Aliran yang ingin secara mutlak menghindari penderitaan adalah
hedonisme, yaitu suatu pandangan bahwa kenikmatan itu merupakan tujuan
satu-satunya dari kegiatan manusia, dan kunci menuju hidup baik. Penafsiran
hedonisme ada dua macam, yaitu:
1.
Hedonisme psikologis yang berpandangan bahwa semua tindakan diarahkan untuk
mencapai kenikmatan dan menghindari penderitaan.
2.
Hedonisme etis yang berpandangan bahwa semua tindakan ‘harus’ ditujukan kepada
kenikmatan dan menghindari penderitaan.
Kritik terhadap hedonisme ialah bahwa
tidak semua tindakan manusia hedonistis, bahkan banyak orang yang tampaknya
merasa bersalah atas kenikmatan-kenikmatan mereka. Dan hal ini menyebabkan
mereka mengalami penderitaan. Pandangan Hedonis psikologis ialah bahwa
semua manusia dimotivasi oleh pengejaran kenikmatan dan penghindaran
penderitaan. Mengejar kenikmatan sebenarnya tidak jelas, sebab ada kalanya
orang menderita dalam rangka latihan-latihan atau menyertai apa yang ingin
dicapai atau dikejarnya. Kritik Aristoteles ialah bahwa puncak etika bukan pada
kenikmatan, melainkan pada kebahagiaan. Lebih lanjut ia mengatakan bahwa
kenikmatan bukan tujuan akhir, melainkan hanya “pelengkap” tindakan. Berbeda
dengan John Stuart Mill yang membela Hedonisme melalui jalan terhormat,
utilitarisme yaitu membela kenikmatan sebagai kebaikan tertinggi. Suatu
tindakan itu baik sejauh ia lebih “berguna” dalam pengertian ini, yaitu sejauh
tindakan memaksimalkan kenikmatan dan meminimalkan penderitaan.
Penderitaan
dan Kasihan
Kembali
kepada masalah penderitaan, muncul Nietzsche yang memberontak terhadap
pernyataan yang berbunyi: “Dalam menghadapi penderitaan itu, manusia merasa
kasihan”. Menurut Nietzche, pernyataan ini tidak benar, penderiutaan itu adalah
suatu kekurangan vitalitas. Selanjutnya ia berkata, “sesuatu yang vital dan
kuat tidak menderita, oleh karenanya ia dapat hidup terus dan ikut
mengembangkan kehidupan semesta alam. Orang kasihan adalah yang hilang
vitaliatasnya, rapuh, busuk dan runtuh. Kasihan itu merugikan perkembangan
hidup”. Sehingga dikatakannya bahwa kasihan adalah pengultusan penderitaan.
Pernyataan Nietzsche ini ada kaitannya dengan latar belakang kehidupannya yang
penuh penderitaan. Ia mencoba memberontak terhadap penderitaan sebagai realitas
dunia, ia tidak menerima kenyataan. Seolah-olah ia berkata, penderitaan jangan
masuk ke dalam hidup dunia. Oleh karena itu, kasihan yang tertuju kepada
manusia harus ditolak, katanya.
Pandangan
Nietzsche tidak dapat disetujui karena :
1.
Di mana letak humanisnya dan aliran existensialisme.
2.
Bahwa penderitaan itu ada dalam hidup manusia dan dapat diatasi dengan sikap
kasihan.
3.
Tidak mungkin orang yang membantu penderita, menyingkir dan senang bila melihat
orang yang menderita.
Bila
demikian, maka itu yang disebut sikap sadisme. Sikap yang wajar adalah menaruh
kasihan terhadap sesama manusia dengan menolak penderitaan, yakni dengan
berusaha sekuat tenaga untuk meringankan penderitaan, dan bila mungkin
menghilangkannya.
Kesimpulan: Setiap manusia pasti pernah
mengalami suatu penderitaan yang menyakitkan. Penderitaan hanya bisa kita
rasakan dalam hati dan terjadi pada kenyataan hidup. Penderitaan bisa datang
kapan saja tergantung kondisi diri kita sendiri. Kebanyakan penderitaan itu
dialami oleh rakyat yang kurang mampu, seharusnya kita sebagai manusia harus
saling membantu. Setidaknya dengan memberi uang ataupun suatu pekerjaan yang
layak itu sudah untuk membantunya. Penderitaan itu sangat menyakitkan dan
sangat tidak menyenangkan, apalagi orang yang deket dan orang yang kita sayang
mengalami bencana rasanya hati ini tidak terima dengan kejadian tersebut. Kita
sebagai manusia harus menerima suatu penderitaan dengan hati yang ikhlas karena
itu merupakan suatu cobaan dari allah untuk mengukur seberapa ketabahan kita
terhadap penderitaan tersebut. Allah maha mendengar dan allah juga maha
penyayang setiap umatnya yang mau mengikuti jalannya pasti allah akan memberi
apa yang mereka mau namun allah akan mengujinya dulu dengan suatu cobaan yang
berat. Manusia tidak akan pernah lepas dari suatu penderitaan baik secara fisik
maupun secara batin. Manusia dan penderitaan saling berhubungan satu sama lain
dan akan terus terikat.